Senin, 16 Februari 2009

Cerpen: Lelaki Komunis Terakhir











Oleh: Joko Sumantri


KUPILIH kereta dan bukan pesawat. “Perjalanan yang cuma sebentar bukanlah perjalanan,” suara Alkodar terngiang di telingaku. Perjalanan hanya satu jam mengabaikan bahwa di sepanjang jarak yang dilewati ada banyak manusia. Cukup banyak manusia.
“Hitunglah berapa banyak manusia yang pernah kau kenal atau kau lihat? Orang-orang di televisi jangan dihitung.”
“Banyak.”
“Mungkin. Tapi ketahuilah bahwa penduduk di kota kecil seperti Solo saja berjumlah setengah juta orang. Aku tak yakin 5% dari mereka pernah kau lihat, apalagi dikenal. Lucu bukan kita tinggal dengan banyak orang tanpa mengetahui keberadaan mereka?”
Aku menenggelamkan duduk. Ada banyak ngiang yang tiba-tiba memenuhi telinga. Kututup telinga.
“Tahukah kau tentang probabilitas kehidupan?”
“Apa itu yang kau pelajari waktu kuliah?” Alkodar memang kuliah di jurusan Matematika, tapi tak diteruskan, lalu pindah jurusan ke FISIP.
“Sama sekali tidak. Ini hasil dari renungan. Cobalah kau berdiri di pinggir jalan besar, pilih dekat perempatan jalan. Amatilah orang yang lalu lalang. Tiap-tiap pertemuan mereka di tempat yang sama sebenarnya mempunyai probabilitas seperjuta atau seperatus juta alias hampir tidak mungkin. Tapi toh, mereka bisa bertemu.”
“Maksudmu?”
“Setiap orang ada di sebuah perempatan jalan karena alasan masing-masing. Kuliah, kerja, sekolah, menengok orang sakit atau bahkan tanpa alasan apapun. Hilangnya sebuah alasan, akan menghasilkan perbedaan. Pun bahwa perjumpaan tersebut sebenarnya melalui sejumlah kemungkinan lainnya, seperti ada tidaknya kemacetan, atau seberapa cepat seseorang berkendara.”
“Apakah demikian rumit?”
“Tidak. Itu hanya upaya buat menghargai eksistensi banyak orang di pikiran kita. Kita selalu berada di antara banyak orang, namun lebih kerap tidak merasakan hal itu.”

* * *

ALKODAR seorang aktivis. Kerjaannya adalah demo. Menjumpai orang-orang miskin dan mengajak mereka tidak diam menghadapi kenyataan. Lawanlah keadaan, katanya pada mereka, dan padaku.
Kusebut dia, lelaki komunis terakhir.
Kukatakan padanya bahwa komunisme adalah anakronisme, paham yang sudah tidak tepat baik waktu maupun tempatnya. Orang yang masih mempercayainya berarti sisa-sisa atau penghabisan, atau, fosil. Dia tertawa. “Menurutku itu sebutan yang puitis,” ujarnya.
Dia tak percaya pada segalanya. Negara, tatanan sosial, kapitalisme, agama dan, keluarga. “Satu-satunya hal yang kupercayai adalah cintamu padaku,” katanya.
Dia menjadi duri dalam hatiku. Aku senang padanya, mungkin pula mencintainya. Namun menyimpannya dalam hati menimbulkan kesakitan dan rasa nyeri. Benar-benar seperti duri dalam daging yang jika tidak dikeluarkan dapat menyebabkan memar dan infeksi.
Aku memutuskan tak bisa percaya pada cinta orang yang tak percaya keluarga.
Alkodar mengira bahwa keluarga adalah unit terkecil kapitalisme. Dia membayangkan seperti dunia lebah. Keluarga merupakan lubang-lubang segi enam pada sarang lebah untuk melahirkan serdadu-serdadu dan pekerja. Tiap-tiap orang layaknya lebah yang telah diberi chip tentang peranan sosialnya di kemudian hari. Dan keluarga merupakan pengemban fungsi yang menginjeksi kesadaran status-quo dan imaji kebenaran kapitalisme.
Saat itu kubilang bahwa dia terlampau banyak berfantasi.
Kerap disampaikan olehnya tentang cita-citanya hidup berselibat. Tidak menikah. Menurutnya, mengutip kata-kata filsuf perempuan, menikah hanya menimbulkan persoalan yang ditimbulkan oleh pernikahan itu sendiri.
Suatu kali aku ke kamar kosnya. Kubeli seikat rambutan. Kami ngobrol banyak hal. Dia mula-mula mengecam mengenai kesadaran antroposentrisme. Bahwa seakan-akan tiap hal di dunia hadir untuk manusia.
“Lihatlah rambutan ini. Bagiku seandainya bisa berpikir, rambutan hanya berpikir bagaimana daging buahnya yang manis dapat menyediakan nutrisi berkualitas tinggi pada biji-bijinya. Dia sama sekali tak peduli apakah manusia menyukainya atau tidak.”
Aku tersenyum menanggapinya. Lalu dia menciumku tiba-tiba ketika aku mempermainkan daging rambutan di bibirku. “Aku hanya ingin memakan rambutan di bibirmu,” ujarnya berargumen dalam cara yang buruk.
“Kalau begitu, lidahmu tak perlu mengorek-ngorek mulutku,” kataku sambil menjauhkan bibirnya dari bibirku.
Kuambil sebiji rambutan, kukupas dan kumasukkan dalam mulutnya. Lalu gantian aku yang menggerus bibirnya. “Aku juga ingin merasakan rambutan di mulutmu.”
Kami lelah berciuman dan biji rambutan itu bahkan hampir tersedak masuk ke kerongkongannya. Kata-katanya membuatku terpingkal-pingkal. “Aku minta maaf padamu, Rambutan. Karena bahkan kau tidak hanya dimakan, tapi pula dilecehkan sebagai obyek seksual.”
Kusuruh dia mendekapku. Lalu berkata-katalah Alkodar mengenai cinta.
“Percintaan dulunya hanya konsumsi kaum borjuis.”
“Benarkah?”
“Cinta secara eksklusif hanya dimiliki oleh kalangan bangsawan sekaligus sebagai ekspresi atas kepemilikan kekuasaan. Perempuan arsitokrat cukup terbebaskan dari tuntutan reproduksi dan pekerjaan sehari-hari sehingga memungkinkan mereka untuk mengejar kesenangan tanpa batas.”
Bagi orang miskin, katanya, perkawinan merupakan alat untuk mengorganisir buruh pertanian. Kehidupan yang dipenuhi oleh pekerja kasar tidak mungkin kondusif bagi perkembangan cinta romantis.
Di kalangan petani Perancis dan Jerman di abad 17, konon ciuman, pelukan dan bentuk-bentuk afeksi lainnya yang berhubungan dengan ekspresi rasa sayang jarang terjadi pada sepasang laki-laki dan perempuan. Tumbuh cerita dan mitos yang berisikan pesan bahwa barang siapa mencoba membangun hubungan permanen melalui kegairahan cinta maka dia akan menuai malapetaka.
“Maka, cinta romantis pada masanya adalah bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai kuno yang mengekang, ajaran dogmatik agama dan kekuasaan patrimonial yang dibangun atas dasar nilai-nilai aristokrasi,” simpul Alkodar sambil mengeratkan dekapannya padaku.
Dia memang berpandangan seperti komunis. Tapi bersikap kurang ajar padaku sepertinya tidak pernah. Sekedar ingin menciumku saja, dia memintakan ijin terlebih dulu. Tentu saja dia meminta hal lebih, bagaimanapun dia seorang laki-laki, tapi dia akan melakukannya setelah aku memberi ijin.

* * *

“JIKA suatu saat ingin menemuiku, temuilah Slamet Brewok dan tanyalah alamatku padanya,” tulisnya di email, mengiringi kepergianku ke Jakarta buat bekerja di sebuah penerbitan. Slamet Brewok adalah seorang penjaga gereja tepat di depan kampus yang sering kami temui.
Saat itu aku bertekad tak mungkin melakukannya. Aku telah mantap berpikir untuk meninggalkannya. Bukan karena kehabisan rasa sayang, melainkan betapa aneh rajutan-rajutan pemikirannya. Ketika ibu kumintai pendapat, dia malah bertanya, “Apa kau mau bersuamikan orang yang bakal dikejar-kejar aparat keamanan?”
Sejak saat itu kuhapus jejak-jejak yang bisa menghubungkan aku dengannya. Nomer HP kuganti, alamat e-mail kuhapus. Selama lima tahun, nyaris aku berhasil melupakannya benar-benar.
Kubayangkan dia hidup sendirian, pergi keliling kota memakai sepeda buat mencari ide menulis, dengan jepit selen, kaos kumal dan rambut awut-awutan. Sewaktu-waktu, mungkin dia juga masih mengikuti demo.
Lalu jika bertemu, dengan bangga Alkodar menyindirku, “Biarkan kekasihmu pergi, karena jika kembali dia akan menjadi milikmu selamanya.”
Dia selalu merupakan laki-laki dengan kepedean berlebih. Sewaktu menyatakan cinta padaku, dia bukannya mengatakan “I love you”, tapi “you love me”. Tentu saja aku mencak-mencak. Tapi dia terus tenang. Menurutnya, reaksiku adalah pertanda jelas bahwa aku mencintainya.
Alkodar selalu merasionalkan apapun tingkahku sebagai cinta yang mendalam padanya. “Aku tidak menerima cintamu,” jawabku karena sebal. Dengan enteng, dia bilang, “Aku pernah membaca dongeng tentang anak yang berkehidupan serba terbalik. Sewaktu hanyut di sungai, dia pun tak menuju muara melainkan ke arah sebaliknya. Tak dikira bahwa anak itu sudah besar dan secantik dirimu.”
* * *
DAN kini aku telah demikian dekat dengan dirinya.
Aku mematut diri di depan sebuah rumah. Berkali-kali kucocokkan alamat yang diberikan Slamet Brewok padaku. Rasanya aneh. Rumah yang kini aku ada di depannya lumayan bagus. Cukup bagus.
Mungkin Alkodar habis memenangkan sayembara menulis tingkat nasional dan menggondol hadiah puluhan juta rupiah. Hanya itu kemungkinan yang membuatnya dapat menempati rumah cukup bagus ini.
Kupencet bel berkali-kali. Pintu terbuka. Seorang perempuan setengah baya muncul dari balik pintu.
“Benar ini kediaman Bapak Alkodar?” tanyaku.
“Benar, Bu. Ada urusan apa, ya?”
“Saya teman kuliah Bapak Alkodar dulu. Saya dari Jakarta ingin menemui Beliau.”
“Oh, begitu. Tapi sekarang Bapak Alkodar lagi keluar. Sedang ngurusi demo buruh di pabrik.”
Wow! Benar perkiraanku. Dia masih seperti dulu. Masih akrab berteman dengan buruh pabrik dan memimpin demo-demo.
Aku minta pada perempuan itu dimana demo buruh itu berada. Dia memberikan ancer-ancer. Setelah pamit, aku langsung mengarahkan taksi pada tempat dimaksud.
Demo. Meskipun punya pacar aktivis, aku tak pernah mengikuti demo. Aku merasa tidak kepengin dan Alkodar pun tak pernah mengajakku turut serta. Katanya, demo bukan ekspresi kaum borjuis sepertiku. Aku tertawa mendengar dia mengatakan itu (sebenarnya bukan karena alasan itu, dalam sebuah e-mail-nya dia berterus terang bahwa kehadiranku akan mengganggu konsentrasinya dalam berorasi atau mengatur massa).
Maka aku hanya bisa menonton aksi-aksinya di sebuah televisi lokal atau membaca dan melihat-lihat kalau-kalau wajahnya muncul di koran.
Terdengar suara hingar menembus kaca taksi yang tertutup rapat. Aku merasa gelisah. Aku benar-benar akan bertemu dengannya. Apa reaksinya? Dan apakah kehadiranku yang tiba-tiba akan menganggu konsentrasinya seperti dulu?
Ada ribuan buruh. Wajah-wajah mereka tampak kelelahan. Lebih banyak perempuan. Panas demikian menyengat sehingga merangsang keluarnya keringat lebih cepat dan lebih banyak.
Kupilih tempat yang ngiyup di bawah warung tenda yang tak terpakai. Sejumlah buruh juga di sana dan mungkin keheranan melihat ada orang asing ikut bergabung.
Kuluaskan pandangan. Terlalu banyak orang. Di sebuah mimbar yang menggunakan mobil bak terbuka berdiri sejumlah orang memegang megapon dan mikropon. Sepertinya salah satunya adalah Alkodar. Benar itu dia.
Kuakui tak pernah mengikuti demo secara langsung, sehingga banyak hal yang tak kupahami. Namun demo yang sedang kusaksikan teramat ganjil. Terutama kehadiran Alkodar di mimbar. Dia berpakaian amat rapi dan mengenakan dasi.
Dan tiap-tiap dia menyampaikan sesuatu, ribuan buruh meneriakkan koor yang sama: “Huuuu!....”

Surakarta, September 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar