Senin, 16 Februari 2009

Esai Tamu: Menafsir Puisi-puisi DN Aidit

Oleh: Asep Sambodja


“Tukang pidato adalah seniman,” kata Njoto alias Iramani, menerjemahkan pernyataan Multatuli, “Ook de redenner is een kunstenaar.” Paling tidak, DN Aidit yang dikenal dunia internasional sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) itu juga menulis puisi.Ada sembilan puisi DN Aidit yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, yang terbit pada bulan September 2008. Sebenarnya jumlah puisi Aidit lebih banyak dari itu, hanya saja ada puisi-puisi Aidit yang tidak lolos dari redaksi Harian Rakyat Minggu, Amarzan Ismail Hamid, yang kini menjadi redaktur senior Tempo dengan nama Amarzan Loebis.
Dari kesembilan puisi itu, ada satu puisi yang sepertinya tidak utuh karena kertas Koran Harian Rakyat itu sudah dimakan rayap, yakni puisi yang berjudul “Jauhilah Imperialis AS”, yang ditulis pada 20 Juli 1965. Meskipun demikian, pesan yang ingin disampaikan Aidit melalui puisi itu jelas tertangkap, yakni meminta Amerika Serikat menghentikan agresinya di Vietnam.Kedelapan puisi Aidit yang lainnya adalah “Hanya Inilah Jalannya”, “Sekarang Ia Sudah Dewasa”, “Yang Mati Hidup Kembali”, “Kidung Dobrak Salahurus”, “Sepeda Butut”, “Untukmu Pahlawan Tani”, “Tugas Partai”, dan “Ziarah ke Makam Usani”.Dari judulnya saja sudah cukup terbaca dengan terang-benderang pesan apa yang hendak disampaikan oleh penyair DN Aidit ini. Memang, kebijakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan redaksi Harian Rakyat tidak mengharamkan puisi pamflet. Justru yang dihindari itu adalah puisi-puisi yang dinilai dekaden, klangenan, dan kosong melompong. Konsep seni Lekra adalah 1-5-1, dalam arti “Politik adalah panglima”, “5 kombinasi”, dan “Turun ke bawah”.Yang dimaksud 5 kombinasi di sini adalah: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreativitas individual dan kearifan massa, (5) realisme sosialis dan romantik revolusioner.Dengan kata lain, kelima kombinasi itu menjadi dasar dalam kerja kreatif seniman Lekra dengan payung “politik adalah panglima”. Dan, itu hanya bisa diwujudkan kalau senimannya itu langsung turun ke bawah, langsung merasakan denyut nadi rakyatnya, baik nelayan, petani, buruh, prajurit, pegawai, atau katakanlah kaum wong cilik.Nah, konsep seperti itulah yang terbaca dalam puisi-puisi DN Aidit ini. Ia, misalnya, langsung bersimpati pada orang-orang kecil yang mati memperjuangkan haknya. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani” Aidit menuliskan /kutundukkan kepala/ untukmu pahlawan/ pahlawan tani boyolali. Jelas, bahwa yang dikatakan Aidit dalam puisinya itu memiliki konteks, yakni peristiwa penembakan petani yang terjadi pada 18 November 1964, yang menewaskan tiga petani, yakni Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo.
Peristiwa penembakan petani itu cukup terekspos secara nasional, sehingga yang merespons peristiwa itu melalui puisi bukan hanya DN Aidit. Penyair lainnya yang juga menulis puisi dengan konteks yang sama adalah Sitor Situmorang, yang menulis "Pesan 3 Petani Boyolali", Budi Santosa Djajadisastra yang menulis "Ketahon--Suatu Titik Balik", dan Amarzan Ismail Hamid yang menulis "Boyolali". Amarzan tidak hanya menulis puisi mengenai hal ini. Dalam buku Laporan Dari Bawah:Sehimpunan Cerita Pendek Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 (yang juga disusun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Amarzan juga menulis cerpen dengan judul yang sama, "Boyolali". Bahwa ketiga petani itu mati karena memperjuangkan haknya untuk mendapatkan bagi hasil yang sama antara petani dengan pemilik tanah ('tuan tanah') Wirjowiredjo, yakni 1:1 sesuau UU Pokok Agraria. Sayang, ketiga petani itu ditembak mati.Demikian pula dalam puisi “Ziarah ke Makam Usani”, Aidit menulis /semua kawan tunduk berdiri/ duka cita menyayat hati/ airmata mengalir, butir demi butir/ dan semua berjanji/ akan nyalakan api juang usani …usani pergi, api juangnya nyala abadi/ PKI mekar harum mewangi. Sekali lagi, konteksnya jelas, yakni Usani, seorang perempuan yang mungkin dianggap biasa-biasa saja, tapi di mata seorang ketua partai politik terbesar keempat di Indonesia diberi penghargaan yang demikian terhormat. Aidit menyebutnya, “Wanita pejuang komunis, pembela setia buruh dan tani, yang mati dalam pengabdiannya sebagai proletariat sejati.”Dalam puisi “Ziarah ke Makam Usani” ini, Aidit juga memasukkan ideologinya atau ideologi partainya, yakni “Mengganyang si lima jahat”. Kelima “lawan” yang dianggap “jahat” itu adalah (1) “Malaysia”, (2) kabir, (3) 7 setan desa, (4), imperialis AS, (5) Revisionis.Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 mengeluarkan kebijakan mengenai Dwikora, yang terdiri dari: pertama, “Ganyang Malaysia”, yang dianggap sebagai negara bentukan neokolonialis Inggris, dan kedua, membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Kebijakan ini ditafsir Aidit sebagai lawan yang harus dihadapi, terutama untuk pembentukan negara federasi Malaysia.Kabir atau Kapbir adalah akronim dari Kapitalis Birokrat, yakni para purnawirawan militer yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan negara, sehingga mengakibatkan mismanagement yang akrab dikenal dengan “salah urus”. Bisa dibayangkan jika Aidit jadi presiden seandainya menang dalam pemilihan umum, maka para purnawirawan militer itu akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan. Makanya, dengan menjadikan kabir sebagai musuh, Aidit dan PKI pun berhadapan dengan militer, terutama Angkatan Darat.Tujuh setan desa juga dimaksudkan Aidit dan PKI untuk memudahkan warga desa mewaspadai musuh-musuhnya. Ketujuh setan desa yang dimaksud adalah (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa. Untuk poin nomor 6, tentu saja menyebabkan massa PKI di desa berhadapan dengan massa Islam, karena membayar zakat itu merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, sama halnya dengan melakukan ibadah sholat atau puasa, serta naik haji bagi yang kaya. Dibandingkan seruan menyerang 3 setan kota, seruan mengganyang 7 setan desa ini lebih bergemuruh di bawah. Dampaknya adalah terjadi konflik horisontal di level akar rumput, mirip dengan konflik di Ambon dan Sambas.Dengan menempatkan imperialis AS sebagai musuh, meskipun hingga kini kita masih melihat “kreativitas” Amerika di Afghanistan dan Irak, sudah pasti PKI berhadapan dengan Amerika, lengkap dengan mata-matanya. Kalau dalam penelitian Asvi Warman Adam mengenai peristiwa G 30 S 1965 disebutkan adanya keterlibatan CIA, hal itu merupakan sesuatu yang niscaya. Demikian pula dengan menempatkan kaum Revisionis, kalangan yang tidak sejalan dengan paham Revolusi belum selesai, sebagai musuh, maka Aidit dan PKI serta merta membuat jurang pemisah yang semakin dalam.Dari puisi “Ziarah ke Makam Usani” itu pula Aidit memperlihatkan bahwa api juang Usani, semangat Usani dan kaum proletar lainnya, bahkan semangat partai komunis demikian tumbuh bergelora. Semangat seperti inilah yang membuat hidup lebih hidup, membuat hidup penuh taste, sama sekali tidak menciptakan generasi yang enjoy aja.Hanya saja, kita tahu, bahwa kita tidak hidup di lingkungan yang homogen. Meminjam kata-kata Utuj Tatang Sontani, “sayang ada orang lain”. Dan lagi, pengaruh globalisasi juga bisa terasa sampai di dapur dan tempat tidur kita. Perang Dingin antara Amerika dengan Uni Soviet terasa juga sampai di Jakarta, sampai ke Lubang Buaya, sampai pula pada pembunuhan massal orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kenapa di Jawa Barat, yang notabene berjarak paling dekat dengan Lubang Buaya, tidak ada pembantaian massal terhadap orang-orang PKI? Dari penelitian Ben Anderson terbaca bahwa Pangdam Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie, tidak mengizinkan RPKAD beroperasi di wilayahnya. Siapa yang menggerakkan RPKAD saat itu? Siapa yang berani bertanggung jawab?Aidit pun mati. Ia menjadi salah satu target yang diburu. Ia diburu seperti Amerika memburu Osama bin Ladin. Osama, bukan Obama. Meskipun Aidit mati, karyanya akan tetap abadi. Karyanya akan terus dibaca. Karena, di balik karyanya, sesungguhnya Aidit ingin bicara banyak. Tukang pidato yang ingin jadi penyair itu boleh saja dihilangkan, tapi pesan yang ingin disampaikan masih terpelihara hingga kini.Berikut saya kutipkan sebuah sajak lengkap Aidit, “Kidung Dobrak Salahurus”, yang tetap memperlihatkan garis ideologi dan keyakinan politiknya yang demikian kental.

Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari jauh adik
Dari daerah banjir dan lapar
Membawa hati lebih keras dari bencana
Selamat datang dalam barisan kita

Di kala kidung itu kau tembangkan
Bertambah indah tanah priangan
Sesubur seindah priangan manis
Itulah kini partai komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
Biar tukang-tukang salahurus mengerti
Benci rakyat dibawa mati
Cinta rakyat pada pki

Teruskan, teruskan tembangmu
Bikin rakyat bersatupadu
Bikin priangan maju dan jaya
Alam indah rakyat bahagia

Cipanas, 13 Januari 1963

Apa yang ditulis penyair Aidit di atas tidak jauh beda dengan apa yang diucapkan para calon presiden Indonesia sekarang ini. Baik yang kita baca di media massa atau yang kita tonton di iklan televisi. Jadi, sama saja. Siapa pun ketua partai politiknya, siapa pun yang ingin menjadi penguasa, suaranya akan sama seperti itu. Inilah puisi pamflet. Dan itu sah saja, meskipun bukan satu-satunya. ***

Sabtu, 25 Oktober 2008

Cerpen: Dan Gerimis Belum Juga Usai

Oleh: Gatot Prakosa

Gerimis belum juga mau berhenti. Malam bergerak lebih cepat di dalam ruang tamu keluarga Pak Daud yang jendela-jendelanya belum ditutup gorden yang terbuat dari sarung.
Bondan mengambil segelas teh di depan duduknya. Membawanya ke dekat pangkuannya. Sebentar diamatinya tiga semut hitam yang melayang-layang di dalam air merah ranum teh. Semut-semut malang itu lebih kacau bergerak ketika bibir gelas digoyang-goyangkan.
Suara detik tetes hujan yang meluncur ke lantai pojok ruang tamu, tidak menarik perhatian agar ditampung dalam sebuah ember atau baskom. Sudah seminggu genteng pecah kena timpuk anak tetangga yang berharap kucing putih pencuri, yang saat itu terdampar di genteng rumah Pak Daud, mau turun dan jatuh dalam tangkapannya.
“Jadi, bagaimana ya, Mas. Saya ikut saja. Terimakasih banyak sudah dibantu. Saya dan istri ini bisanya apa sih, Mas. Kami tidak pernah sekolah. Tapi meski begitu, anak kami harus hidup lebih baik, harus bisa memperbaiki keluarga. Si Noto ini sudah lulus SMA setahun kemarin. Tapi mungkin belum jodohnya, melamar kerja ke mana-mana belum juga diterima,” keluh Pak Daud kepada dua tamunya yang datang sejak maghrib tadi. Ia berharap bantuan yang lebih lagi. Tangannya yang sebelah kanan tampak oleh kedua tamunya sering mengelus-elus dada kirinya.
“ Kami tidak punya uang, jika itu diperlukan agar diterima bekerja. Kami juga tidak punya kenalan, yang mungkin bisa bawa anak kami bekerja. Kerja apa pun, ia akan lakukan,” Pak Daud menunduk saja, merasakan matanya gemetaran. Istrinya yang duduk di samping merangkulnya, mengalungkan dua tangannya. Kepala istrinya bersandar di ujung pundaknya. Merasa tak punya kekuatan apa-apa buat masa depan anak mereka, buat memenuhi tanggungjawab setiap orang tua kepada anak-anaknya.
“ Rasanya sudah berabad-abad jadi orang miskin. Seperti tangan yang kapalan. Turun-temurun jadi orang susah. Bapak saya itu juga penarik sampah di kampung ini. Sayalah ini mewarisinya dari beliau. Syukur, Gusti Maha Welas Asih, saya masih diberi nafkah dan gubug kecil ini,” tambah Pak Daud.
“Kami bisa bawa putra Bapak. Seminggu lagi kami ke sini dengan surat-surat yang diperlukan. Kami akan uruskan, sampai mengantar putra Bapak bersama beberapa orang lainnya berangkat dan mengawal sampai putera bapak bekerja,” berkata Parminto, pegawai sebuah perusahaan penyedia tenaga kerja untuk luar negeri, menjabarkan apa yang akan ia lakukan buat membantu keluarga Pak Daud. Mendengar itu, Pak Daud dan istrinya memperbaiki duduknya, memandang dua tamunya dengan seri wajahnya. Ada kerlip bening di mata mereka. Sedangkan Noto, putra Pak Daud, duduk di sisi tikar yang lain, menunduk diam.
“Gaji sudah kami sampaikan tadi. Sampai lima juta sebulannya. Dapat makan pagi dan siang hari. Juga tunjangan kesehatan. Kami hanya menarik kembali biaya pemberangkatan dan pengurusan surat-surat dengan cara potong gaji sebesar totalnya duapuluh lima juta. Dari sebulan yang lima juta itu, berarti lima bulan saja, duapuluh lima juta itu akan lunas. Gaji bulan-bulan berikutnya, seluruhnya untuk putra Bapak,” Parminto menambahkan, diangguki oleh Bondan yang duduk di sampingnya.
“Meski hanya pekerjaan yang sama, tetapi dikerjakan di tempat yang berbeda, gajinya bisa ratusan kali lebih besar. Bukankah itu sebuah peluang?” Bondan ikut menimpali.
“Tapi … aku tidak mau, Bapak,” tak diduga, putra Pak Daud menanggapi dengan cara berbeda.
“Ayo, Le. Kamu anak kami yang terakhir. Satu-satunya sisa harapan kami. Ini kesempatan, Anakku. Mungkin Tuhan memberi kita jalan ini buat membenahi keadaan keluarga kita. Kamu hanya bekerja dua atau tiga tahun di sana, selepas itu kembalilah pulang ke rumah. Tapi saat itu, di tanganmu sudah cukup modal untuk buka usaha apa yang kamu inginkan di sini,” terang Pak Daud sedikit gusar.
“Iyo, Le. Keluargamu sendiri bisa ke luar dari tali jiret kemiskinan. Bisa terbebas dari pekerjaan bab sampah. Karena kamu, Le. Karena kamu,” istri Pak Daud ikut menasehati.
“Aku masih bisa kerja bangunan ikut Paman minggu depan, Bapak,” berkata Noto, putra Pak Daud. Ia tidak bisa percaya, orang datang berhujan-hujan untuk tulus menolong orang lainnya.
“Dik, orang-orang di negara sana tidak ada yang mau bekerja di bagian mengurus sampah. Pemerintah kelabakan, penyakit dan ketentraman terancam oleh tumpukan-tumpukan sampah. Kota sangat membutuhkan orang-orang yang mengurusnya. Akhirnya pemerintah menawarkan gaji tinggi, melebihi gaji karyawan perusahaan umum. Tetapi, sekali lagi, tidak ada warga yang mau bekerja berkotor-kotor,” Bondan menggambarkan keadaan.
“Apa tidak ada orang yang membutuhkan uang di sana?” tanya Noto lagi, masih tak percaya.
“Mereka takut sakit. Mereka tidak tahan dengan bau, lembab yang kotor, cairan hitam yang kental, dekat dengan serangga-serangga seperti kecoak. Selain itu mereka melihat pekerjaan ini tidak menawarkan perkembangan karir. Begitulah pengurus sampah kota jadi profesi yang dijauhi orang-orang,” Bondan menjawab.
“Tetapi Bapak, Ibu dan Adik harus yakin, ada jaminan kesehatan di sana. Soalnya mereka tidak mau negaranya dipandang tidak melindungi pekerjanya,” berkata Parminto menambahkan.

***

Lima bulan sudah lewat. Bulan keenam berjalan. Keluarga Pak Daud menerima uang kiriman putranya di awal bulan. Tetapi mereka tidak mau menggunakannya buat merubah gaya hidup mereka. Pak Daud hanya membeli sebuah handphone, untuk bisa berbicara dengan sang putera.
Pekerjaan membersihkan sampah, tanpa perlindungan masker penutup hidung dan sarung tangan, menanggung kepastian datangnya penyakit. Begitulah Pak Daud bekerja pagi hari itu dengan menahan demam tubuhnya. Hari berikutnya ia menunda berkeliling untuk mengambil sampah ketika hari sudah siang. Matahari akan memanggang kulitnya. Membunuh demamnya. Begitulah satu minggu terakhir Pak Daud melakukan tugasnya siang hari. Tetapi kesehatannya tak kunjung membaik.
Dua hari yang lalu, ketika ia tak mampu bangkit dari tempat tidurnya, Pak Daud merintih. Pikirannya tak mau terima badannya demam. Sementara istrinya melakukan lebih banyak pekerjaan rumah, menggantikan apa yang dikerjakan Pak Daud selama ini, seperti mencuci pakaian dan mengepel lantai. Selesai dengan tugasnya, ia selalu berada di samping suaminya.
Salah satu yang paling memberatkan pikiran Pak Daud adalah soal pekerjaan menarik sampah warga kampung yang tidak dikerjakannya hari ini. Ia sedih dan marah pada tubuhnya. Ia bayangkan sampah yang tidak diangkutnya hari itu, berserakan di jalan-jalan karena kucing-kucing gila menggulingkan tempat sampah, mengais sisa ikan. Kalau sudah begitu, udara akan dipenuhi bau sampah. Bayi-bayi dan anak-anak kecil bisa kena penyakit. Pak Daud menangis memikirkannya. Ia harus bisa bangkit besok!
Malam berat mengambang di rumah Pak Daud. Diantara tidurnya, Pak Daud merintih-rintih, sebentar hilang sebentar datang. Ia menceracau tak jelas. Seperti erangan. Ada sakit yang tidak bisa mengumbar ke luar tubuh renta Pak Daud. Tertahan di dalam. Menggerogoti apa yang ada.
Istrinya mendekap tubuh tua suaminya yang sudah jadi kurus. Seperti harta yang paling berharga bagi dirinya, ia menjaganya, tak mau suaminya mengerang atau menceracau lagi. Ia tak peduli keringat deras yang ke luar dari pori kulit suaminya membasahi baju menembus kulitnya, membuatnya bau dan lengket.
Beberapa hari kemudian, dengan riuh kentongan dipukul, orang-orang mengantar Pak Daud menuju rumah terakhirnya. Rumah terakhirnya yang bebas dari sampah, lepas dari bau yang menusuk membuat nyeri, merdeka dari serangga-serangga hitam kotor.
Setiap orang yang menyaksikan wajah Pak Daud sebelum ditutup keranda, akan sama-sama yakin bahwa itu bukan wajah yang nestapa. Kemalangan yang bagaimana pun tidak bisa memaksa Pak Daud meninggalkan dunia dengan kemarahan. Malaikat melukis senyuman di sana. Karena sebelum wafat, ia sudah diyakinkan bahwa ada pengganti yang meneruskan kerjanya, menarik sampah. Bahwa pagi tadi, sampah di kampung sudah dibersihkan, sudah diangkut ke tempat pembuangannya.
Hari ini, orang-orang merasa lega, karena hampir seminggu sampah menumpuk tidak terurus dan membuat kampung bagai kandang hewan, sudah dibersihkan sejak pagi sekali. Si anak muda yang pernah berikhtiar dapat menjauhkan keluarganya dari sampah dan kemiskinan, ia yang pernah pergi ke seberang benua, kesulitan berbicara dengan bahasa asing, anak muda yang menerima upah kerja dengan tangan gemetar, anak muda ini menarik gerobak penuh sampah untuk kali kelima pagi ini. Karena enam hari sampah belum diambil.
Dengan otot tangan dan kaki mengembang, Noto, penerus sang ayah menarik gerobak sampah, merasakan lagi berdentam-dentam di kepalanya sebuah pertanyaan, yang belum bisa ia jawab: ”Siapa yang membuat nilai bahwa sebuah pekerjaan lebih mulia ketimbang pekerjaan yang lain? Siapa yang membuat penilaian bahwa pekerjaan yang satu layak digaji lebih rendah dari yang lain?”**

rumsas, 2008-2009

Esai: SASTRA YANG MEMBANGUN SOLIDARITAS

Oleh: Gatot Prakoso


Bencana tsunami yang menghancurkan Aceh dan sebagian Sumatera Utara sungguh memilukan. Peristiwa yang telah membunuh 160-an ribu jiwa (puluhan ribu lainnya hilang tak ketahuan rimba) sudah pasti akan membuat siapapun trenyuh. Sungguh tak bisa dipercaya. Apa yang telah kita perbuat sehingga Tuhan begitu “marah” dan mengambil jiwa-jiwa tak berdosa itu?
Tsunami menambah deretan luka tak terperi masyarakat Aceh. Daerah yang dikenal kaya akan bahan tambang, khususnya minyak, akibat salah urus pembangunan orde baru dan korupsi dimiskinkan secara struktural. Aceh kemudian menjadi medan pertempuran terbuka antara yang menginginkan merdeka (Gerakan Aceh Merdeka alias GAM) dengan TNI yang mempertahankan kedaulatan Indonesia di sana.
Kini bahkan tsunami menambah luka Aceh semakin parah dan tak dapat terhapus meskipun telah berganti sekian generasi. Dalam referensi ilmiah mengenai trauma pasabencana disebutkan diperlukan waktu sampai puluhan tahun bagi korban agar terbebas dari bayang-bayang bencana yang mengerikan. Kesedihan yang menjalar akibat kehilangan orang-orang tercinta pun sungguh susah ditawar dengan apapun.
Bala bantuan memang datang dari segala penjuru. Milyaran dollar dikucurkan dari negara-negara seluruh dunia. Murid-muird sekolah dasar di China berbaris rapi dalam upacara peringatan dan belasungkawa dan satu persatu dari mereka menyisihkan uang jajan. Di Austria, di sebuah desa yang berpenduduk lima ribuan jiwa mengadakan pentas amal yang hasilnya disumbangkan kepada korban tsunami. Sikap solidaritas dari belahan bumi yang tak terkira jauh ini menandai semangat kebersamaan global.
Antusiasme masyarakat lokal membantu korban tsunami tak kalah hebat. Seluruh elemen masyarakat membanjiri kotak-kotak sumbangan dengan uang dan barang, dompet-dompet amal yang dibuka media massa penuh sumbangan, pun ribuan orang yang ikut tergerak menjadi sukarelawan.
Belum ada dalam sejarah mengenai bencana yang pernah melahirkan solidaritas sedemikian tinggi seperti sekarang. Anak-anak kecil membobok celengan, pengamen yang kesulitan finansial pun ikut mengamen ekstra agar hasilnya dapat disisihkan buat korban.
Di wilayah seni, seniman dari berbagai jenis melakukan apapun untuk meringankan derita korban. Ada yang menyelenggarakan pentas amal, konser amal, lelang karya seni, atau “mengamen” di jalan-jalan protokol dan tempat keramaian. Peristiwa tsunami mempersatukan segenap elemen, menyingkirkan prasangka dan membuncahkan semangat dan solidaritas sedemikian besar.
Tetapi cukupkah semangat menyumbang itu bagi tujuan mengurangi derita korban tsunami? Bagaimana kalau media-media berhenti memberitakan kesengsaraan para suvivor (korban yang selamat dan menjadi pengungsi), televisi “bosan” menayangkan video amatir tsunami dan pemerintah sendiri mulai mengalihkan perhatian?
Nah, saya merasa untuk persoalan ini, para seniman memiliki tugas khusus. Bukan sekedar terlibat dalam penggalangan dana (ataupun menyisihkan penghasilan), melainkan ikut bertanggung jawab merasakan duka dan kesedihan korban melalui sebentuk karya. Melakukan rekaman pengugah hati yang terus menjaga solidaritas tetap tumbuh di hati dan sanubari publik.
Pemberitaan media tidak mungkin selamanya bercokol di Aceh. Saat sekarang pun frekuensi pemberitaan Aceh mulai menyusut. Wajar mereka bertabiat begitu dan tak ada yang bisa dipersalahkan. Seturut antusiasme media yang menurun, dikhawatirkan solidaritas publik makin berkurang. Sumbangan-sumbangan jauh menyusut jumlahnya, relawan-relawan yang harus pulang kesulitan memperoleh pengganti..
Dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan, mungkin orang akan cepat lupa terhadap peristiwa maha-dahsyat tersebut. Padahal duka yang menyelimutinya masih bersisian dengan perikehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Orang-orang kehilangan harapan, anak-anak putus sekolah, kehilangan sosok tercinta sampai tak berpunya apa-apa lagi.
Informasi model begini seyogyanya tetap dapat disampaikan kepada publik. Bukan untuk mempermanensi kesedihan, tetapi untuk meyajikan fakta kesedihan akibat bencana yang nyaris tak pernah usai.
Diharapkan apabila kita mampu merekam perkembangan situasi tak menyenangkan tersebut, pemerintah tergerak untuk bertindak apapun agar sebuah bencana tak berulang dalam hal banyaknya korban yang jatuh dan meminimalisasi derita suvivor melalui serangkaian penanganan yang memadai.
Kita khawatir pemerintah cepat lupa dengan terjadinya sebuah bencana dan kemudian abai untuk membangun perangkat dan sistem tertentu mengantisipasi bencana.
Percaya atau tidak, kesenian dapat (dan dituntut) mengambil-alih peran yang telah dilakukan media secara lugas: membangun empati dan solidaritas.
Sastra dalam hal ini memiliki fungsi khas. Kelebihan karya sastra mampu menyuguhkan duka secara mendalam, intens dan detil sehingga dapat berfungsi sebagai rekaman peristiwa yang berharga dan bisa mengabadi.

Sastra dan Aceh
Tanpa ada peristiwa yang meluluh-lantakkan itu pun, Aceh tetap menjadi lokus yang menarik penciptaan karya sastra. Beberapa pengarang antusias mengambil Aceh sebagai setting cerita, termasuk Motinggo Busye dalam cerpennya, “Dua Tengkorak Kepala”. Sebuah daerah dengan banyak peristiwa jelas menyimpan segudang cerita nan menarik.
Bagi sastrawan, Aceh kini makin “mengandung” banyak cerita menarik sebagai akibat peristiwa tersebut. Tidak aneh jika dalam waktu singkat telah lahir banyak sekali puisi tentang Aceh di hampir semua media, juga beberapa cerpen. Saking banyaknya puisi yang tercipta, saya hanya menyertakan beberapa cerpen tentang Aceh yang termuat di berbagai macam media lokal dan nasional.
Apabila Anda meng-klik sriti.com, di sana ada folder khusus karya sastra (cerpen dan puisi) tentang tsunami. Sampai esai ini diketik, di situs tersebut ada empat cepen dan belasan puisi di berbagai media massa se-Indonesia. Cerpen itu adalah karya Hermawan Aksan (“Dia Pergi Seperti Angin”, Media Indonesia, 2/01), Isbedy Setiawan ZS (“Gelombang Besar di Kota Itu, Jawa Pos, 2/01), Pilliang, DTA dan Kurnia Effendi (berturut-turut cerpen “Rahasia Tuhan” dan “Seseorang Mirip Nuh”, keduanya di Suara Karya edisi 13/01 dan 6/01).
Tentu masih banyak media, khususnya dari daerah, yang tak termaktub di sriti.com. Koran Suara Merdeka misalnya memuat cerpen soal Aceh karya sastrawan muda Lampung, Dyah Indra Mertawirana (“Perempuan, kelelawar dan Sebuah Impian”, 9/01).
Tidak sekedar cerpen dan puisi – atau suatu waktu nanti harus dipikirkan untuk menerbitkan antologi puisi dan cerpen tersebut – sastrawan seharusnya mampu menggali lebih dalam derita Aceh melalui gaya penceritaan yang lebih panjang (novel).
Entah kapan waktunya ada sastrawan yang betul-betul tergerak menovelkan tsunami Aceh, yang jelas novel tersebut harus mampu menggambarkan akibat-akibat negatif tsunami dalam jangka panjang. Kekuatan membangkitkan empati dan emosi bisa menjadi ruh yang menjiwai novel.
Jika situasi tersebut berhasil diciptakan, kita berharap solidaritas untuk Aceh dapat terjaga laiknya bara api yang disiram minyak atau ditiup angin. Memang bersyarat novel tersebut meledak di pasaran, tetapi kalaupun tidak, harus dipikirkan adanya media lain yang mampu mengatasi kelemahan daya baca masyarakat. Misalnya dengan memfilmkan kisah tersebut.
Barangkali inilah solidaritas sejatinya. Bukan karena momentum sesaat, apalagi terkesan aji mumpung (tidak ada kontinuitasnya), sastrawan bersolidaritas melalui karya-karyanya.
Solidaritas yang mampu melampaui nilai-nilai artistikisme yang biasanya membelit kreasi sastrawan sehingga menabalkan sisi empatik dan emosi pembaca. Solidaritas yang terbebat dalam karya dan melebihi fungsi kesenian itu sendiri (apabila dianggap sebagai hanya) ungkapan jiwa.
Dalam caranya sendiri, setiap orang diharapkan menggunakan kemampuannya untuk membantu dan bersolidaritas. Sastrawan rupanya dituntut lebih bekerja keras menghasilkan sebentuk solidaritas yang memiliki kemanfaatan besar.*

Cerpen: Lelaki Komunis Terakhir











Oleh: Joko Sumantri


KUPILIH kereta dan bukan pesawat. “Perjalanan yang cuma sebentar bukanlah perjalanan,” suara Alkodar terngiang di telingaku. Perjalanan hanya satu jam mengabaikan bahwa di sepanjang jarak yang dilewati ada banyak manusia. Cukup banyak manusia.
“Hitunglah berapa banyak manusia yang pernah kau kenal atau kau lihat? Orang-orang di televisi jangan dihitung.”
“Banyak.”
“Mungkin. Tapi ketahuilah bahwa penduduk di kota kecil seperti Solo saja berjumlah setengah juta orang. Aku tak yakin 5% dari mereka pernah kau lihat, apalagi dikenal. Lucu bukan kita tinggal dengan banyak orang tanpa mengetahui keberadaan mereka?”
Aku menenggelamkan duduk. Ada banyak ngiang yang tiba-tiba memenuhi telinga. Kututup telinga.
“Tahukah kau tentang probabilitas kehidupan?”
“Apa itu yang kau pelajari waktu kuliah?” Alkodar memang kuliah di jurusan Matematika, tapi tak diteruskan, lalu pindah jurusan ke FISIP.
“Sama sekali tidak. Ini hasil dari renungan. Cobalah kau berdiri di pinggir jalan besar, pilih dekat perempatan jalan. Amatilah orang yang lalu lalang. Tiap-tiap pertemuan mereka di tempat yang sama sebenarnya mempunyai probabilitas seperjuta atau seperatus juta alias hampir tidak mungkin. Tapi toh, mereka bisa bertemu.”
“Maksudmu?”
“Setiap orang ada di sebuah perempatan jalan karena alasan masing-masing. Kuliah, kerja, sekolah, menengok orang sakit atau bahkan tanpa alasan apapun. Hilangnya sebuah alasan, akan menghasilkan perbedaan. Pun bahwa perjumpaan tersebut sebenarnya melalui sejumlah kemungkinan lainnya, seperti ada tidaknya kemacetan, atau seberapa cepat seseorang berkendara.”
“Apakah demikian rumit?”
“Tidak. Itu hanya upaya buat menghargai eksistensi banyak orang di pikiran kita. Kita selalu berada di antara banyak orang, namun lebih kerap tidak merasakan hal itu.”

* * *

ALKODAR seorang aktivis. Kerjaannya adalah demo. Menjumpai orang-orang miskin dan mengajak mereka tidak diam menghadapi kenyataan. Lawanlah keadaan, katanya pada mereka, dan padaku.
Kusebut dia, lelaki komunis terakhir.
Kukatakan padanya bahwa komunisme adalah anakronisme, paham yang sudah tidak tepat baik waktu maupun tempatnya. Orang yang masih mempercayainya berarti sisa-sisa atau penghabisan, atau, fosil. Dia tertawa. “Menurutku itu sebutan yang puitis,” ujarnya.
Dia tak percaya pada segalanya. Negara, tatanan sosial, kapitalisme, agama dan, keluarga. “Satu-satunya hal yang kupercayai adalah cintamu padaku,” katanya.
Dia menjadi duri dalam hatiku. Aku senang padanya, mungkin pula mencintainya. Namun menyimpannya dalam hati menimbulkan kesakitan dan rasa nyeri. Benar-benar seperti duri dalam daging yang jika tidak dikeluarkan dapat menyebabkan memar dan infeksi.
Aku memutuskan tak bisa percaya pada cinta orang yang tak percaya keluarga.
Alkodar mengira bahwa keluarga adalah unit terkecil kapitalisme. Dia membayangkan seperti dunia lebah. Keluarga merupakan lubang-lubang segi enam pada sarang lebah untuk melahirkan serdadu-serdadu dan pekerja. Tiap-tiap orang layaknya lebah yang telah diberi chip tentang peranan sosialnya di kemudian hari. Dan keluarga merupakan pengemban fungsi yang menginjeksi kesadaran status-quo dan imaji kebenaran kapitalisme.
Saat itu kubilang bahwa dia terlampau banyak berfantasi.
Kerap disampaikan olehnya tentang cita-citanya hidup berselibat. Tidak menikah. Menurutnya, mengutip kata-kata filsuf perempuan, menikah hanya menimbulkan persoalan yang ditimbulkan oleh pernikahan itu sendiri.
Suatu kali aku ke kamar kosnya. Kubeli seikat rambutan. Kami ngobrol banyak hal. Dia mula-mula mengecam mengenai kesadaran antroposentrisme. Bahwa seakan-akan tiap hal di dunia hadir untuk manusia.
“Lihatlah rambutan ini. Bagiku seandainya bisa berpikir, rambutan hanya berpikir bagaimana daging buahnya yang manis dapat menyediakan nutrisi berkualitas tinggi pada biji-bijinya. Dia sama sekali tak peduli apakah manusia menyukainya atau tidak.”
Aku tersenyum menanggapinya. Lalu dia menciumku tiba-tiba ketika aku mempermainkan daging rambutan di bibirku. “Aku hanya ingin memakan rambutan di bibirmu,” ujarnya berargumen dalam cara yang buruk.
“Kalau begitu, lidahmu tak perlu mengorek-ngorek mulutku,” kataku sambil menjauhkan bibirnya dari bibirku.
Kuambil sebiji rambutan, kukupas dan kumasukkan dalam mulutnya. Lalu gantian aku yang menggerus bibirnya. “Aku juga ingin merasakan rambutan di mulutmu.”
Kami lelah berciuman dan biji rambutan itu bahkan hampir tersedak masuk ke kerongkongannya. Kata-katanya membuatku terpingkal-pingkal. “Aku minta maaf padamu, Rambutan. Karena bahkan kau tidak hanya dimakan, tapi pula dilecehkan sebagai obyek seksual.”
Kusuruh dia mendekapku. Lalu berkata-katalah Alkodar mengenai cinta.
“Percintaan dulunya hanya konsumsi kaum borjuis.”
“Benarkah?”
“Cinta secara eksklusif hanya dimiliki oleh kalangan bangsawan sekaligus sebagai ekspresi atas kepemilikan kekuasaan. Perempuan arsitokrat cukup terbebaskan dari tuntutan reproduksi dan pekerjaan sehari-hari sehingga memungkinkan mereka untuk mengejar kesenangan tanpa batas.”
Bagi orang miskin, katanya, perkawinan merupakan alat untuk mengorganisir buruh pertanian. Kehidupan yang dipenuhi oleh pekerja kasar tidak mungkin kondusif bagi perkembangan cinta romantis.
Di kalangan petani Perancis dan Jerman di abad 17, konon ciuman, pelukan dan bentuk-bentuk afeksi lainnya yang berhubungan dengan ekspresi rasa sayang jarang terjadi pada sepasang laki-laki dan perempuan. Tumbuh cerita dan mitos yang berisikan pesan bahwa barang siapa mencoba membangun hubungan permanen melalui kegairahan cinta maka dia akan menuai malapetaka.
“Maka, cinta romantis pada masanya adalah bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai kuno yang mengekang, ajaran dogmatik agama dan kekuasaan patrimonial yang dibangun atas dasar nilai-nilai aristokrasi,” simpul Alkodar sambil mengeratkan dekapannya padaku.
Dia memang berpandangan seperti komunis. Tapi bersikap kurang ajar padaku sepertinya tidak pernah. Sekedar ingin menciumku saja, dia memintakan ijin terlebih dulu. Tentu saja dia meminta hal lebih, bagaimanapun dia seorang laki-laki, tapi dia akan melakukannya setelah aku memberi ijin.

* * *

“JIKA suatu saat ingin menemuiku, temuilah Slamet Brewok dan tanyalah alamatku padanya,” tulisnya di email, mengiringi kepergianku ke Jakarta buat bekerja di sebuah penerbitan. Slamet Brewok adalah seorang penjaga gereja tepat di depan kampus yang sering kami temui.
Saat itu aku bertekad tak mungkin melakukannya. Aku telah mantap berpikir untuk meninggalkannya. Bukan karena kehabisan rasa sayang, melainkan betapa aneh rajutan-rajutan pemikirannya. Ketika ibu kumintai pendapat, dia malah bertanya, “Apa kau mau bersuamikan orang yang bakal dikejar-kejar aparat keamanan?”
Sejak saat itu kuhapus jejak-jejak yang bisa menghubungkan aku dengannya. Nomer HP kuganti, alamat e-mail kuhapus. Selama lima tahun, nyaris aku berhasil melupakannya benar-benar.
Kubayangkan dia hidup sendirian, pergi keliling kota memakai sepeda buat mencari ide menulis, dengan jepit selen, kaos kumal dan rambut awut-awutan. Sewaktu-waktu, mungkin dia juga masih mengikuti demo.
Lalu jika bertemu, dengan bangga Alkodar menyindirku, “Biarkan kekasihmu pergi, karena jika kembali dia akan menjadi milikmu selamanya.”
Dia selalu merupakan laki-laki dengan kepedean berlebih. Sewaktu menyatakan cinta padaku, dia bukannya mengatakan “I love you”, tapi “you love me”. Tentu saja aku mencak-mencak. Tapi dia terus tenang. Menurutnya, reaksiku adalah pertanda jelas bahwa aku mencintainya.
Alkodar selalu merasionalkan apapun tingkahku sebagai cinta yang mendalam padanya. “Aku tidak menerima cintamu,” jawabku karena sebal. Dengan enteng, dia bilang, “Aku pernah membaca dongeng tentang anak yang berkehidupan serba terbalik. Sewaktu hanyut di sungai, dia pun tak menuju muara melainkan ke arah sebaliknya. Tak dikira bahwa anak itu sudah besar dan secantik dirimu.”
* * *
DAN kini aku telah demikian dekat dengan dirinya.
Aku mematut diri di depan sebuah rumah. Berkali-kali kucocokkan alamat yang diberikan Slamet Brewok padaku. Rasanya aneh. Rumah yang kini aku ada di depannya lumayan bagus. Cukup bagus.
Mungkin Alkodar habis memenangkan sayembara menulis tingkat nasional dan menggondol hadiah puluhan juta rupiah. Hanya itu kemungkinan yang membuatnya dapat menempati rumah cukup bagus ini.
Kupencet bel berkali-kali. Pintu terbuka. Seorang perempuan setengah baya muncul dari balik pintu.
“Benar ini kediaman Bapak Alkodar?” tanyaku.
“Benar, Bu. Ada urusan apa, ya?”
“Saya teman kuliah Bapak Alkodar dulu. Saya dari Jakarta ingin menemui Beliau.”
“Oh, begitu. Tapi sekarang Bapak Alkodar lagi keluar. Sedang ngurusi demo buruh di pabrik.”
Wow! Benar perkiraanku. Dia masih seperti dulu. Masih akrab berteman dengan buruh pabrik dan memimpin demo-demo.
Aku minta pada perempuan itu dimana demo buruh itu berada. Dia memberikan ancer-ancer. Setelah pamit, aku langsung mengarahkan taksi pada tempat dimaksud.
Demo. Meskipun punya pacar aktivis, aku tak pernah mengikuti demo. Aku merasa tidak kepengin dan Alkodar pun tak pernah mengajakku turut serta. Katanya, demo bukan ekspresi kaum borjuis sepertiku. Aku tertawa mendengar dia mengatakan itu (sebenarnya bukan karena alasan itu, dalam sebuah e-mail-nya dia berterus terang bahwa kehadiranku akan mengganggu konsentrasinya dalam berorasi atau mengatur massa).
Maka aku hanya bisa menonton aksi-aksinya di sebuah televisi lokal atau membaca dan melihat-lihat kalau-kalau wajahnya muncul di koran.
Terdengar suara hingar menembus kaca taksi yang tertutup rapat. Aku merasa gelisah. Aku benar-benar akan bertemu dengannya. Apa reaksinya? Dan apakah kehadiranku yang tiba-tiba akan menganggu konsentrasinya seperti dulu?
Ada ribuan buruh. Wajah-wajah mereka tampak kelelahan. Lebih banyak perempuan. Panas demikian menyengat sehingga merangsang keluarnya keringat lebih cepat dan lebih banyak.
Kupilih tempat yang ngiyup di bawah warung tenda yang tak terpakai. Sejumlah buruh juga di sana dan mungkin keheranan melihat ada orang asing ikut bergabung.
Kuluaskan pandangan. Terlalu banyak orang. Di sebuah mimbar yang menggunakan mobil bak terbuka berdiri sejumlah orang memegang megapon dan mikropon. Sepertinya salah satunya adalah Alkodar. Benar itu dia.
Kuakui tak pernah mengikuti demo secara langsung, sehingga banyak hal yang tak kupahami. Namun demo yang sedang kusaksikan teramat ganjil. Terutama kehadiran Alkodar di mimbar. Dia berpakaian amat rapi dan mengenakan dasi.
Dan tiap-tiap dia menyampaikan sesuatu, ribuan buruh meneriakkan koor yang sama: “Huuuu!....”

Surakarta, September 2006

Esai: Kemerdekaan Kreatif Masih Relatif

Oleh: Joko Sumantri

Mungkin kurang dinyana kalau reformasi politik di tahun 1998 berimbas pada segi-segi lain, termasuk pada ranah seni-budaya. Semenjak terjungkalnya rejim orde baru pimpinan Seoharto, kejumudan kreatif mulai terurai. Sensor melemah melalui ditandainya kemunculan tabloid-tabloid panas secara bebas. Mulai jarang pula ditemukan pemerintah atau negara campur tangan dalam masalah kebebasan kreatif, seperti melarang pertunjukan tetaer, pembreidelan media massa maupun pencekalan seniman dalam berkarya.
Semasa orde baru berkuasa, galib kita temui sensor-sensor yang mengebiri proses kreatif hingga tandas. Maestro sastrawan yang dimiliki negeri ini, Pramoedya Ananta Toer kehilangan naskah berharganya akibat dibakar oleh tentara. Buku-bukunya yang lain dilarang terbit, tetapi menikmati ketenaran di luar negeri.
Baru pada saat sekaranglah Pram menikmati kejayaannya di dalam negeri. Tetralogi “Bumi Manusia” diburu banyak orang, menimbulkan kepenasaran luar biasa dan sejumlah orang di banyak kota berkumpula hanya untuk membentuk kelompok diskusi intens mengenai buku-buku tersebut. Pram menjadi ikon populer baru, misalnya ketika namanya disebut dalam sebuah film.
Pedang demokles bernama sensor pada masa orba bergerak di hampir semua jenis kesenian. Di sastra dan seni pertunjukan, Rendra, N. Riantiarno, Emha Ainun Najib, Wiji Thukul, Ratna Sarumpaet kenyang merasakan teguran sampai pelarangan pentas pembacaan puisi dan teaternya. Di musik ada Doel Soembang dan Iwan Fals yang kerap mengalami pencekalan album-albumnya. Beberapa film bermutu bikinan sineas berbakat kita urung beredar, seperti film Tjut Nyak Dien.
Sensor yang demikian nyata menandakan dua hal sekaligus, kekuatan rejim berkuasa dan kerapuhan rejim itu menopang dirinya untuk tetap eksis. Perilaku baba-membabat dalam proses kreatif merangkum kekhawatiran berlebihan penguasa akan munculnya bibit-bibit kemakaran yang potensial mengkudeta kekuasaan. Sindrom maupun fobia ini sebagai akibat dari kegagalan menjalankan kekuasan dengan baik dan diakui oleh rakyat.
Seakan-akan berkuasa betul dan menjadi dewa bahkan tuhan, rejim sensor nyatanya berpijak pada pondasi yang rapuh. Rejim sensor tidak ingin ada yang mengganggu-gugat kekuasaan, tapi di sisi lain kurang memerhatikan aspek yang memperkokoh kekuasaan. Sensor berjaya, sementara korupsi dan penyalahgunaan wewenang terus berkibar.
Maka ketika rejim bersangkutan runtuh, proses kreatif dalam seni-budaya memerlihatkan taji dan kemampuannya. Tak berapa lama semenjak itu, bermunculan karya-karya sastra spektakuler, seperti Saman dan Supernova yang musykil diterbitkan lima atau sepuluh tahun silam.
Penyanyi Iwan Fals dan Doel Sumbang bebas berkeliaran di hadapan publik dan selalu ditunggu penampilannya oleh penonton televisi. Tak terukur jumlahnya kini pertunjukan teater yang kritis dan politis (bahkan mungkin menjadi pemandangan aneh ketika TVRI beberapa waktu lalu menayangkan teater “Opera Kecoak” yang pernah dilarang).
Begituah. Euforia kebebasan meruap dimana-mana. Tak lama waktunya berselang dari sekarang, terbit dalam jumlah luar biasa, novel dan buku-buku kontroversial. Mayoritas berbicara seks secara terbuka dan vulgar. Lagi-lagi, panorama ini mustahil ditemui semasa orba berkuasa.
Memang susah dicari keterkaitannya, namun seks adalah bagian paling “dimusuhi” oleh rejim sensor sebagaimana isu-isu politis. Namun dalam kajian-kajian Barat, seperi Freud dan Michel Foucault, seks dan seksualitas merupakan domain pokok dalam perikehidupan manusia. Seks tampak berguna untuk mengontrol perilaku umat seperti pernah diperlihatkan oleh rejim Victoria di Inggris. Melunak atau menguatnya perlakuan terhadap perilaku seks warga sipil menjadi sinyal melunak atau menguatnya otoritas negara.

Sensor Sipil
Perlahan tapi pasti, masalah sensor kian menguat kembali. Seiring makin terkonsolidasinya kekuasaan yang mengarah pada pola lama (korupsi makin berkibar dan militer belum benar-benar hengkang dari perpolitikan), urusan sensor-menyensor mendapat porsi untuk berperan kembali. Konsepnya mungkin sedikit berubah. Sensor masa lalu hadir untuk mengerem kelajuan sikap kritik dan anti-orba, sensor masa kini hadir ‘seolah-olah’ melindungi masyarakat dari produk seni yang merusak moral dan martabat masyarakat.
Sensor negara berkolaborasi dengan “sensor” kelompok sipil tertentu. Kelompok sipil ini memiliki pemahaman berbeda mengenai produk seni yang layak tampil di hadapan publik. Mereka tak jarang menggunakan kekerasan untuk mencapai maksud pelarangan terhadap tayangan film dan media massa yang diklaim mengandung pornografi atau menyebarkan ajaran komunisme.
Beberapa waktu lalu marak diberitakan kelompok sipil tertentu merusak bioskop yang menayangkan film-film yang dianggap porno. Selain bioskop, juga tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik. Di Yogya, sempat ada sweeping buku-buku kiri. Buku-buku Pram termasuk yang menjadi korban.
Kehadiran kelompok sipil dan lembaga sensor baru merupakan simbiosa yang saling menguatkan. Kelompok sipil tak perlu menutup kesana kemari bioskop dan distributor film maupun media massa yang ingin dilarang, sementara lembaga sensor memeroleh legitimasi.
Kecenderungan ini wujud dari tak pernah matinya sensor di muka bumi Indonesia. Sebuah pameran untuk mengenang peristiwa G 30 S di Solo tahun lalu gagal hanya karena memampang bendera palu-arit. Bendera itu sangat berguna untuk membuka memori politik Indonesia di tahun 1960-an. Film Gie juga gagal mendapat ijin menggunakan bendera-bendera tersebut.
Peristiwa sensor lain marak terjadi pada produk seni yang dekat dengan seks. Film “Buruan Cium Gue” gagal beredar semata-mata menayangkan adegan ciuman. Sebuah pelarangan anakronistik karena sebenarnya hanya pantas diterapkan pada era 1960-an. Ciuman sebagai bagian dari perilaku seks toh sudah menjelma kebiasaan remaja berpacaran masa kini, bahkan lebih.
Sensor seks terlihat “aneh” ketika teknologi mutakhir justru membuka lebar-lebar perilaku seks alternatif yang lebih bebas dan lebih terbuka. Ada teknologi video dimana siapapun bisa menonton tayangan porno, bahkan membuat sendiri tayangan porno. Teknologi informasi seperti internet dan HP bahkan menembus kemampuan sensor sekuat apapun karena berlangsung di ruang-ruang privat.
Yang cukup mengkhawatirkan adalah definisi seks dan pornografi yang tak pernah seragam, dan rentan politisasi kelompok kepentingan tertentu. Dalam proses legal-formal, akan dimunculkan UU anti-pornografi yang konon amburadul dalam mengartikan pornografi. Ciuman di depan umum dilarang seperti halnya pakaian ketat dan goyangan pinggul yang “merangsang”. RUU yang gagal disahkan namun dicoba terus pengesahannya oleh kelompok partisan tertentu ini akan mengancam total kebebasan kreatif.
Sementara, sebelum menunggu keputusan legal-formal, sebagian kelompok sipil masih menjadi ancaman bagi kelompok sipil lain. Kebebasan kreatif menjadi sangat relatif. Di satu sisi negara tak melarang kreasi dalam bentuk apapun, tetapi ada seklompok sipil tertentu yang siap memberangus produk ktreatif tersebut. dan negara hanya membiarkan kecenderungan tersebut berlangsung begitu saja.

Kritik atas Sensor
Selama ini kalangan seniman tak bereaksi bilamana karyanya sendiri maupun karya para sejawatnya mengalami sensor dan gagal tayang. Hal ini dimengerti kalau menyangkut isi yang sensitif, para seniman memilih mengalah terhadap tuntutan kelompok sipil yang dari segi jumlah massa lebih besar dan didukung penerimaan publik yang tinggi atas argumen kelompok tersebut.
Masalahnya tentu bukan besar-besaran massa. Dari sisi seniman, sensor benar-benar sosok yang amat menghantui kreativitas seniman. Tentu akan sangat sulit bagi sutradara menggambarkan realitas dunia remaja saat ini dalam film apabila ciuman saja dilarang. Novel seperti Saman tentu berkurang kualitasnya seandainya narasi-narasi joroknya dibuang.
Kesulitan yang dihadapi seniman adalah sikap personalisme yang sangat menggejala. Setiap seniman memiliki “eskistensialisme” tinggi di hadapan seniman lain. Oleh karenanya, sikap solidaritas kurang bergema, apalagi pada seniman pada jenis seni yang berbeda.
Di masa-masa datang, para seniman harus berani mengurai persoalan tersebut. Setiap upaya sensor harus dikritik balik sehingga masyarakat memeroleh imbangan wacana. Kritik balik ini membutuhkan solidaritas tinggi antar seniman, dan bukan pribadi per pribadi seniman.

Minggu, 15 Februari 2009

Apa dan Siapa LIBAT

Perkembangan seni-budaya sungguh luar biasa belakangan hari ini. Melalui apa yang disebut kemajuan teknologi informasi dengan berbagai varian-nya, mengubah pola seni-budaya hingga pada titik ekstrim, yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Namun ketimbang sebagai perubahan dan atau penyesuaian terhadap hadirnya media-media baru, inti seni dan budaya negeri praktis tidak berubah.
Lahirnya moda-moda teknologis dari peradaban mutakhir tersebut, nyata-nyata tidak mengubah tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum. Kita masih tetap miskin, sembari sebagian dari kita menikmati modernitas.
Kelompok seniman termasuk kelompok yang relatif melek informasi sehingga mampu mengambil kemanfataan dari perkembangan ini. Meskipun demikian, sebagian besar masyarakat kita tidak. TIDAK.
Mereka tetap bergelut dalam perjuangan mempertahankan hidup sehari-hari. Kaum buruh berjerih-payah mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk gaji rendah dan dibayang-bayangi pemecatan. Kaum nelayan berjuang mendapatkan tangkapan maksimal, berebut dengan kapal-kapal asing nan modern dan berhadapan dengan kuasa tengkulak untuk menentukan harga tangkapan. Petani? Atau buruh-tani tepatnya, kembang-kempis bercocok tanam, bertahan dari cekikan harga bibit dan pupuk, pemeliharaan hingga impor bahan pangan.
Mereka tidak memikirkan internet, meski telah menenteng HP.
Seniman, belakangan, hadir sebagai makhluk aneh. Berkibar dnegan panji-panji kebebasan. Tetapi oleh karena terbiasa dengan tekanan politis orde baru, juga kurang menghasilkan karya-karya yang berhubungan dengan mayoritas kelompok tertindas. Sebagian besar seniman terilusi menjadi kelas baru bagian dari borjuasi (menikmati royalti tanpa bekerja), tergila-gila popularitas, mengagungkan kebebasan diri (termasuk bebas untuk tidak memikirkan rakyat sejawat), terpisah dari lingkungan sosial, membentuk kelompok-kelompok non-ideologis dan bertempur antar diri mereka sendiri demi alasan eksistensial.
Sebagian lain tetap mejaga jarak dengan komersialisasi, tapi juga menolak berurusan dengan buruh-tani-nelayan.
Sebagian lagi mengagungkan nilai-nilai lokal dan puas menjadi raja-raja kecil dalam komunitas kecil sambil berharap mendapat fund raising dari asing.

Kami, seniman-seniman yang tergabung dalam Lingkar Seni-Budaya Rakyat atau LIBAT menolak kecenderungan-kecenderungan liberal seniman. Kami bagian dari kelompok tertindas sebagaimana kaum buruh, tani dan nelayan. Suara-suara kami, maka, berupaya menjajarkan diri dengan suara-suara kaum buruh-tani-nelayan. Bukan bermakna suara kami memiliki nilai lebih dari suara-suara mereka sendiri, tapi lebih sebagai memperkaya metoda, memperkuat hantaman dan memperhebat jalinan perlawanan terhadap sistem yang menindas, KAPITALISME.
Kami, adalah suara lain dari kapitalisme. Kami adalah seniman-seniman pengusung SOSIALISME!