Minggu, 15 Februari 2009

Apa dan Siapa LIBAT

Perkembangan seni-budaya sungguh luar biasa belakangan hari ini. Melalui apa yang disebut kemajuan teknologi informasi dengan berbagai varian-nya, mengubah pola seni-budaya hingga pada titik ekstrim, yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Namun ketimbang sebagai perubahan dan atau penyesuaian terhadap hadirnya media-media baru, inti seni dan budaya negeri praktis tidak berubah.
Lahirnya moda-moda teknologis dari peradaban mutakhir tersebut, nyata-nyata tidak mengubah tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum. Kita masih tetap miskin, sembari sebagian dari kita menikmati modernitas.
Kelompok seniman termasuk kelompok yang relatif melek informasi sehingga mampu mengambil kemanfataan dari perkembangan ini. Meskipun demikian, sebagian besar masyarakat kita tidak. TIDAK.
Mereka tetap bergelut dalam perjuangan mempertahankan hidup sehari-hari. Kaum buruh berjerih-payah mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk gaji rendah dan dibayang-bayangi pemecatan. Kaum nelayan berjuang mendapatkan tangkapan maksimal, berebut dengan kapal-kapal asing nan modern dan berhadapan dengan kuasa tengkulak untuk menentukan harga tangkapan. Petani? Atau buruh-tani tepatnya, kembang-kempis bercocok tanam, bertahan dari cekikan harga bibit dan pupuk, pemeliharaan hingga impor bahan pangan.
Mereka tidak memikirkan internet, meski telah menenteng HP.
Seniman, belakangan, hadir sebagai makhluk aneh. Berkibar dnegan panji-panji kebebasan. Tetapi oleh karena terbiasa dengan tekanan politis orde baru, juga kurang menghasilkan karya-karya yang berhubungan dengan mayoritas kelompok tertindas. Sebagian besar seniman terilusi menjadi kelas baru bagian dari borjuasi (menikmati royalti tanpa bekerja), tergila-gila popularitas, mengagungkan kebebasan diri (termasuk bebas untuk tidak memikirkan rakyat sejawat), terpisah dari lingkungan sosial, membentuk kelompok-kelompok non-ideologis dan bertempur antar diri mereka sendiri demi alasan eksistensial.
Sebagian lain tetap mejaga jarak dengan komersialisasi, tapi juga menolak berurusan dengan buruh-tani-nelayan.
Sebagian lagi mengagungkan nilai-nilai lokal dan puas menjadi raja-raja kecil dalam komunitas kecil sambil berharap mendapat fund raising dari asing.

Kami, seniman-seniman yang tergabung dalam Lingkar Seni-Budaya Rakyat atau LIBAT menolak kecenderungan-kecenderungan liberal seniman. Kami bagian dari kelompok tertindas sebagaimana kaum buruh, tani dan nelayan. Suara-suara kami, maka, berupaya menjajarkan diri dengan suara-suara kaum buruh-tani-nelayan. Bukan bermakna suara kami memiliki nilai lebih dari suara-suara mereka sendiri, tapi lebih sebagai memperkaya metoda, memperkuat hantaman dan memperhebat jalinan perlawanan terhadap sistem yang menindas, KAPITALISME.
Kami, adalah suara lain dari kapitalisme. Kami adalah seniman-seniman pengusung SOSIALISME!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar