Senin, 16 Februari 2009

Esai: SASTRA YANG MEMBANGUN SOLIDARITAS

Oleh: Gatot Prakoso


Bencana tsunami yang menghancurkan Aceh dan sebagian Sumatera Utara sungguh memilukan. Peristiwa yang telah membunuh 160-an ribu jiwa (puluhan ribu lainnya hilang tak ketahuan rimba) sudah pasti akan membuat siapapun trenyuh. Sungguh tak bisa dipercaya. Apa yang telah kita perbuat sehingga Tuhan begitu “marah” dan mengambil jiwa-jiwa tak berdosa itu?
Tsunami menambah deretan luka tak terperi masyarakat Aceh. Daerah yang dikenal kaya akan bahan tambang, khususnya minyak, akibat salah urus pembangunan orde baru dan korupsi dimiskinkan secara struktural. Aceh kemudian menjadi medan pertempuran terbuka antara yang menginginkan merdeka (Gerakan Aceh Merdeka alias GAM) dengan TNI yang mempertahankan kedaulatan Indonesia di sana.
Kini bahkan tsunami menambah luka Aceh semakin parah dan tak dapat terhapus meskipun telah berganti sekian generasi. Dalam referensi ilmiah mengenai trauma pasabencana disebutkan diperlukan waktu sampai puluhan tahun bagi korban agar terbebas dari bayang-bayang bencana yang mengerikan. Kesedihan yang menjalar akibat kehilangan orang-orang tercinta pun sungguh susah ditawar dengan apapun.
Bala bantuan memang datang dari segala penjuru. Milyaran dollar dikucurkan dari negara-negara seluruh dunia. Murid-muird sekolah dasar di China berbaris rapi dalam upacara peringatan dan belasungkawa dan satu persatu dari mereka menyisihkan uang jajan. Di Austria, di sebuah desa yang berpenduduk lima ribuan jiwa mengadakan pentas amal yang hasilnya disumbangkan kepada korban tsunami. Sikap solidaritas dari belahan bumi yang tak terkira jauh ini menandai semangat kebersamaan global.
Antusiasme masyarakat lokal membantu korban tsunami tak kalah hebat. Seluruh elemen masyarakat membanjiri kotak-kotak sumbangan dengan uang dan barang, dompet-dompet amal yang dibuka media massa penuh sumbangan, pun ribuan orang yang ikut tergerak menjadi sukarelawan.
Belum ada dalam sejarah mengenai bencana yang pernah melahirkan solidaritas sedemikian tinggi seperti sekarang. Anak-anak kecil membobok celengan, pengamen yang kesulitan finansial pun ikut mengamen ekstra agar hasilnya dapat disisihkan buat korban.
Di wilayah seni, seniman dari berbagai jenis melakukan apapun untuk meringankan derita korban. Ada yang menyelenggarakan pentas amal, konser amal, lelang karya seni, atau “mengamen” di jalan-jalan protokol dan tempat keramaian. Peristiwa tsunami mempersatukan segenap elemen, menyingkirkan prasangka dan membuncahkan semangat dan solidaritas sedemikian besar.
Tetapi cukupkah semangat menyumbang itu bagi tujuan mengurangi derita korban tsunami? Bagaimana kalau media-media berhenti memberitakan kesengsaraan para suvivor (korban yang selamat dan menjadi pengungsi), televisi “bosan” menayangkan video amatir tsunami dan pemerintah sendiri mulai mengalihkan perhatian?
Nah, saya merasa untuk persoalan ini, para seniman memiliki tugas khusus. Bukan sekedar terlibat dalam penggalangan dana (ataupun menyisihkan penghasilan), melainkan ikut bertanggung jawab merasakan duka dan kesedihan korban melalui sebentuk karya. Melakukan rekaman pengugah hati yang terus menjaga solidaritas tetap tumbuh di hati dan sanubari publik.
Pemberitaan media tidak mungkin selamanya bercokol di Aceh. Saat sekarang pun frekuensi pemberitaan Aceh mulai menyusut. Wajar mereka bertabiat begitu dan tak ada yang bisa dipersalahkan. Seturut antusiasme media yang menurun, dikhawatirkan solidaritas publik makin berkurang. Sumbangan-sumbangan jauh menyusut jumlahnya, relawan-relawan yang harus pulang kesulitan memperoleh pengganti..
Dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan, mungkin orang akan cepat lupa terhadap peristiwa maha-dahsyat tersebut. Padahal duka yang menyelimutinya masih bersisian dengan perikehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Orang-orang kehilangan harapan, anak-anak putus sekolah, kehilangan sosok tercinta sampai tak berpunya apa-apa lagi.
Informasi model begini seyogyanya tetap dapat disampaikan kepada publik. Bukan untuk mempermanensi kesedihan, tetapi untuk meyajikan fakta kesedihan akibat bencana yang nyaris tak pernah usai.
Diharapkan apabila kita mampu merekam perkembangan situasi tak menyenangkan tersebut, pemerintah tergerak untuk bertindak apapun agar sebuah bencana tak berulang dalam hal banyaknya korban yang jatuh dan meminimalisasi derita suvivor melalui serangkaian penanganan yang memadai.
Kita khawatir pemerintah cepat lupa dengan terjadinya sebuah bencana dan kemudian abai untuk membangun perangkat dan sistem tertentu mengantisipasi bencana.
Percaya atau tidak, kesenian dapat (dan dituntut) mengambil-alih peran yang telah dilakukan media secara lugas: membangun empati dan solidaritas.
Sastra dalam hal ini memiliki fungsi khas. Kelebihan karya sastra mampu menyuguhkan duka secara mendalam, intens dan detil sehingga dapat berfungsi sebagai rekaman peristiwa yang berharga dan bisa mengabadi.

Sastra dan Aceh
Tanpa ada peristiwa yang meluluh-lantakkan itu pun, Aceh tetap menjadi lokus yang menarik penciptaan karya sastra. Beberapa pengarang antusias mengambil Aceh sebagai setting cerita, termasuk Motinggo Busye dalam cerpennya, “Dua Tengkorak Kepala”. Sebuah daerah dengan banyak peristiwa jelas menyimpan segudang cerita nan menarik.
Bagi sastrawan, Aceh kini makin “mengandung” banyak cerita menarik sebagai akibat peristiwa tersebut. Tidak aneh jika dalam waktu singkat telah lahir banyak sekali puisi tentang Aceh di hampir semua media, juga beberapa cerpen. Saking banyaknya puisi yang tercipta, saya hanya menyertakan beberapa cerpen tentang Aceh yang termuat di berbagai macam media lokal dan nasional.
Apabila Anda meng-klik sriti.com, di sana ada folder khusus karya sastra (cerpen dan puisi) tentang tsunami. Sampai esai ini diketik, di situs tersebut ada empat cepen dan belasan puisi di berbagai media massa se-Indonesia. Cerpen itu adalah karya Hermawan Aksan (“Dia Pergi Seperti Angin”, Media Indonesia, 2/01), Isbedy Setiawan ZS (“Gelombang Besar di Kota Itu, Jawa Pos, 2/01), Pilliang, DTA dan Kurnia Effendi (berturut-turut cerpen “Rahasia Tuhan” dan “Seseorang Mirip Nuh”, keduanya di Suara Karya edisi 13/01 dan 6/01).
Tentu masih banyak media, khususnya dari daerah, yang tak termaktub di sriti.com. Koran Suara Merdeka misalnya memuat cerpen soal Aceh karya sastrawan muda Lampung, Dyah Indra Mertawirana (“Perempuan, kelelawar dan Sebuah Impian”, 9/01).
Tidak sekedar cerpen dan puisi – atau suatu waktu nanti harus dipikirkan untuk menerbitkan antologi puisi dan cerpen tersebut – sastrawan seharusnya mampu menggali lebih dalam derita Aceh melalui gaya penceritaan yang lebih panjang (novel).
Entah kapan waktunya ada sastrawan yang betul-betul tergerak menovelkan tsunami Aceh, yang jelas novel tersebut harus mampu menggambarkan akibat-akibat negatif tsunami dalam jangka panjang. Kekuatan membangkitkan empati dan emosi bisa menjadi ruh yang menjiwai novel.
Jika situasi tersebut berhasil diciptakan, kita berharap solidaritas untuk Aceh dapat terjaga laiknya bara api yang disiram minyak atau ditiup angin. Memang bersyarat novel tersebut meledak di pasaran, tetapi kalaupun tidak, harus dipikirkan adanya media lain yang mampu mengatasi kelemahan daya baca masyarakat. Misalnya dengan memfilmkan kisah tersebut.
Barangkali inilah solidaritas sejatinya. Bukan karena momentum sesaat, apalagi terkesan aji mumpung (tidak ada kontinuitasnya), sastrawan bersolidaritas melalui karya-karyanya.
Solidaritas yang mampu melampaui nilai-nilai artistikisme yang biasanya membelit kreasi sastrawan sehingga menabalkan sisi empatik dan emosi pembaca. Solidaritas yang terbebat dalam karya dan melebihi fungsi kesenian itu sendiri (apabila dianggap sebagai hanya) ungkapan jiwa.
Dalam caranya sendiri, setiap orang diharapkan menggunakan kemampuannya untuk membantu dan bersolidaritas. Sastrawan rupanya dituntut lebih bekerja keras menghasilkan sebentuk solidaritas yang memiliki kemanfaatan besar.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar