Senin, 16 Februari 2009

Esai: Kemerdekaan Kreatif Masih Relatif

Oleh: Joko Sumantri

Mungkin kurang dinyana kalau reformasi politik di tahun 1998 berimbas pada segi-segi lain, termasuk pada ranah seni-budaya. Semenjak terjungkalnya rejim orde baru pimpinan Seoharto, kejumudan kreatif mulai terurai. Sensor melemah melalui ditandainya kemunculan tabloid-tabloid panas secara bebas. Mulai jarang pula ditemukan pemerintah atau negara campur tangan dalam masalah kebebasan kreatif, seperti melarang pertunjukan tetaer, pembreidelan media massa maupun pencekalan seniman dalam berkarya.
Semasa orde baru berkuasa, galib kita temui sensor-sensor yang mengebiri proses kreatif hingga tandas. Maestro sastrawan yang dimiliki negeri ini, Pramoedya Ananta Toer kehilangan naskah berharganya akibat dibakar oleh tentara. Buku-bukunya yang lain dilarang terbit, tetapi menikmati ketenaran di luar negeri.
Baru pada saat sekaranglah Pram menikmati kejayaannya di dalam negeri. Tetralogi “Bumi Manusia” diburu banyak orang, menimbulkan kepenasaran luar biasa dan sejumlah orang di banyak kota berkumpula hanya untuk membentuk kelompok diskusi intens mengenai buku-buku tersebut. Pram menjadi ikon populer baru, misalnya ketika namanya disebut dalam sebuah film.
Pedang demokles bernama sensor pada masa orba bergerak di hampir semua jenis kesenian. Di sastra dan seni pertunjukan, Rendra, N. Riantiarno, Emha Ainun Najib, Wiji Thukul, Ratna Sarumpaet kenyang merasakan teguran sampai pelarangan pentas pembacaan puisi dan teaternya. Di musik ada Doel Soembang dan Iwan Fals yang kerap mengalami pencekalan album-albumnya. Beberapa film bermutu bikinan sineas berbakat kita urung beredar, seperti film Tjut Nyak Dien.
Sensor yang demikian nyata menandakan dua hal sekaligus, kekuatan rejim berkuasa dan kerapuhan rejim itu menopang dirinya untuk tetap eksis. Perilaku baba-membabat dalam proses kreatif merangkum kekhawatiran berlebihan penguasa akan munculnya bibit-bibit kemakaran yang potensial mengkudeta kekuasaan. Sindrom maupun fobia ini sebagai akibat dari kegagalan menjalankan kekuasan dengan baik dan diakui oleh rakyat.
Seakan-akan berkuasa betul dan menjadi dewa bahkan tuhan, rejim sensor nyatanya berpijak pada pondasi yang rapuh. Rejim sensor tidak ingin ada yang mengganggu-gugat kekuasaan, tapi di sisi lain kurang memerhatikan aspek yang memperkokoh kekuasaan. Sensor berjaya, sementara korupsi dan penyalahgunaan wewenang terus berkibar.
Maka ketika rejim bersangkutan runtuh, proses kreatif dalam seni-budaya memerlihatkan taji dan kemampuannya. Tak berapa lama semenjak itu, bermunculan karya-karya sastra spektakuler, seperti Saman dan Supernova yang musykil diterbitkan lima atau sepuluh tahun silam.
Penyanyi Iwan Fals dan Doel Sumbang bebas berkeliaran di hadapan publik dan selalu ditunggu penampilannya oleh penonton televisi. Tak terukur jumlahnya kini pertunjukan teater yang kritis dan politis (bahkan mungkin menjadi pemandangan aneh ketika TVRI beberapa waktu lalu menayangkan teater “Opera Kecoak” yang pernah dilarang).
Begituah. Euforia kebebasan meruap dimana-mana. Tak lama waktunya berselang dari sekarang, terbit dalam jumlah luar biasa, novel dan buku-buku kontroversial. Mayoritas berbicara seks secara terbuka dan vulgar. Lagi-lagi, panorama ini mustahil ditemui semasa orba berkuasa.
Memang susah dicari keterkaitannya, namun seks adalah bagian paling “dimusuhi” oleh rejim sensor sebagaimana isu-isu politis. Namun dalam kajian-kajian Barat, seperi Freud dan Michel Foucault, seks dan seksualitas merupakan domain pokok dalam perikehidupan manusia. Seks tampak berguna untuk mengontrol perilaku umat seperti pernah diperlihatkan oleh rejim Victoria di Inggris. Melunak atau menguatnya perlakuan terhadap perilaku seks warga sipil menjadi sinyal melunak atau menguatnya otoritas negara.

Sensor Sipil
Perlahan tapi pasti, masalah sensor kian menguat kembali. Seiring makin terkonsolidasinya kekuasaan yang mengarah pada pola lama (korupsi makin berkibar dan militer belum benar-benar hengkang dari perpolitikan), urusan sensor-menyensor mendapat porsi untuk berperan kembali. Konsepnya mungkin sedikit berubah. Sensor masa lalu hadir untuk mengerem kelajuan sikap kritik dan anti-orba, sensor masa kini hadir ‘seolah-olah’ melindungi masyarakat dari produk seni yang merusak moral dan martabat masyarakat.
Sensor negara berkolaborasi dengan “sensor” kelompok sipil tertentu. Kelompok sipil ini memiliki pemahaman berbeda mengenai produk seni yang layak tampil di hadapan publik. Mereka tak jarang menggunakan kekerasan untuk mencapai maksud pelarangan terhadap tayangan film dan media massa yang diklaim mengandung pornografi atau menyebarkan ajaran komunisme.
Beberapa waktu lalu marak diberitakan kelompok sipil tertentu merusak bioskop yang menayangkan film-film yang dianggap porno. Selain bioskop, juga tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik. Di Yogya, sempat ada sweeping buku-buku kiri. Buku-buku Pram termasuk yang menjadi korban.
Kehadiran kelompok sipil dan lembaga sensor baru merupakan simbiosa yang saling menguatkan. Kelompok sipil tak perlu menutup kesana kemari bioskop dan distributor film maupun media massa yang ingin dilarang, sementara lembaga sensor memeroleh legitimasi.
Kecenderungan ini wujud dari tak pernah matinya sensor di muka bumi Indonesia. Sebuah pameran untuk mengenang peristiwa G 30 S di Solo tahun lalu gagal hanya karena memampang bendera palu-arit. Bendera itu sangat berguna untuk membuka memori politik Indonesia di tahun 1960-an. Film Gie juga gagal mendapat ijin menggunakan bendera-bendera tersebut.
Peristiwa sensor lain marak terjadi pada produk seni yang dekat dengan seks. Film “Buruan Cium Gue” gagal beredar semata-mata menayangkan adegan ciuman. Sebuah pelarangan anakronistik karena sebenarnya hanya pantas diterapkan pada era 1960-an. Ciuman sebagai bagian dari perilaku seks toh sudah menjelma kebiasaan remaja berpacaran masa kini, bahkan lebih.
Sensor seks terlihat “aneh” ketika teknologi mutakhir justru membuka lebar-lebar perilaku seks alternatif yang lebih bebas dan lebih terbuka. Ada teknologi video dimana siapapun bisa menonton tayangan porno, bahkan membuat sendiri tayangan porno. Teknologi informasi seperti internet dan HP bahkan menembus kemampuan sensor sekuat apapun karena berlangsung di ruang-ruang privat.
Yang cukup mengkhawatirkan adalah definisi seks dan pornografi yang tak pernah seragam, dan rentan politisasi kelompok kepentingan tertentu. Dalam proses legal-formal, akan dimunculkan UU anti-pornografi yang konon amburadul dalam mengartikan pornografi. Ciuman di depan umum dilarang seperti halnya pakaian ketat dan goyangan pinggul yang “merangsang”. RUU yang gagal disahkan namun dicoba terus pengesahannya oleh kelompok partisan tertentu ini akan mengancam total kebebasan kreatif.
Sementara, sebelum menunggu keputusan legal-formal, sebagian kelompok sipil masih menjadi ancaman bagi kelompok sipil lain. Kebebasan kreatif menjadi sangat relatif. Di satu sisi negara tak melarang kreasi dalam bentuk apapun, tetapi ada seklompok sipil tertentu yang siap memberangus produk ktreatif tersebut. dan negara hanya membiarkan kecenderungan tersebut berlangsung begitu saja.

Kritik atas Sensor
Selama ini kalangan seniman tak bereaksi bilamana karyanya sendiri maupun karya para sejawatnya mengalami sensor dan gagal tayang. Hal ini dimengerti kalau menyangkut isi yang sensitif, para seniman memilih mengalah terhadap tuntutan kelompok sipil yang dari segi jumlah massa lebih besar dan didukung penerimaan publik yang tinggi atas argumen kelompok tersebut.
Masalahnya tentu bukan besar-besaran massa. Dari sisi seniman, sensor benar-benar sosok yang amat menghantui kreativitas seniman. Tentu akan sangat sulit bagi sutradara menggambarkan realitas dunia remaja saat ini dalam film apabila ciuman saja dilarang. Novel seperti Saman tentu berkurang kualitasnya seandainya narasi-narasi joroknya dibuang.
Kesulitan yang dihadapi seniman adalah sikap personalisme yang sangat menggejala. Setiap seniman memiliki “eskistensialisme” tinggi di hadapan seniman lain. Oleh karenanya, sikap solidaritas kurang bergema, apalagi pada seniman pada jenis seni yang berbeda.
Di masa-masa datang, para seniman harus berani mengurai persoalan tersebut. Setiap upaya sensor harus dikritik balik sehingga masyarakat memeroleh imbangan wacana. Kritik balik ini membutuhkan solidaritas tinggi antar seniman, dan bukan pribadi per pribadi seniman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar