Senin, 16 Februari 2009

Cerpen: Dan Gerimis Belum Juga Usai

Oleh: Gatot Prakosa

Gerimis belum juga mau berhenti. Malam bergerak lebih cepat di dalam ruang tamu keluarga Pak Daud yang jendela-jendelanya belum ditutup gorden yang terbuat dari sarung.
Bondan mengambil segelas teh di depan duduknya. Membawanya ke dekat pangkuannya. Sebentar diamatinya tiga semut hitam yang melayang-layang di dalam air merah ranum teh. Semut-semut malang itu lebih kacau bergerak ketika bibir gelas digoyang-goyangkan.
Suara detik tetes hujan yang meluncur ke lantai pojok ruang tamu, tidak menarik perhatian agar ditampung dalam sebuah ember atau baskom. Sudah seminggu genteng pecah kena timpuk anak tetangga yang berharap kucing putih pencuri, yang saat itu terdampar di genteng rumah Pak Daud, mau turun dan jatuh dalam tangkapannya.
“Jadi, bagaimana ya, Mas. Saya ikut saja. Terimakasih banyak sudah dibantu. Saya dan istri ini bisanya apa sih, Mas. Kami tidak pernah sekolah. Tapi meski begitu, anak kami harus hidup lebih baik, harus bisa memperbaiki keluarga. Si Noto ini sudah lulus SMA setahun kemarin. Tapi mungkin belum jodohnya, melamar kerja ke mana-mana belum juga diterima,” keluh Pak Daud kepada dua tamunya yang datang sejak maghrib tadi. Ia berharap bantuan yang lebih lagi. Tangannya yang sebelah kanan tampak oleh kedua tamunya sering mengelus-elus dada kirinya.
“ Kami tidak punya uang, jika itu diperlukan agar diterima bekerja. Kami juga tidak punya kenalan, yang mungkin bisa bawa anak kami bekerja. Kerja apa pun, ia akan lakukan,” Pak Daud menunduk saja, merasakan matanya gemetaran. Istrinya yang duduk di samping merangkulnya, mengalungkan dua tangannya. Kepala istrinya bersandar di ujung pundaknya. Merasa tak punya kekuatan apa-apa buat masa depan anak mereka, buat memenuhi tanggungjawab setiap orang tua kepada anak-anaknya.
“ Rasanya sudah berabad-abad jadi orang miskin. Seperti tangan yang kapalan. Turun-temurun jadi orang susah. Bapak saya itu juga penarik sampah di kampung ini. Sayalah ini mewarisinya dari beliau. Syukur, Gusti Maha Welas Asih, saya masih diberi nafkah dan gubug kecil ini,” tambah Pak Daud.
“Kami bisa bawa putra Bapak. Seminggu lagi kami ke sini dengan surat-surat yang diperlukan. Kami akan uruskan, sampai mengantar putra Bapak bersama beberapa orang lainnya berangkat dan mengawal sampai putera bapak bekerja,” berkata Parminto, pegawai sebuah perusahaan penyedia tenaga kerja untuk luar negeri, menjabarkan apa yang akan ia lakukan buat membantu keluarga Pak Daud. Mendengar itu, Pak Daud dan istrinya memperbaiki duduknya, memandang dua tamunya dengan seri wajahnya. Ada kerlip bening di mata mereka. Sedangkan Noto, putra Pak Daud, duduk di sisi tikar yang lain, menunduk diam.
“Gaji sudah kami sampaikan tadi. Sampai lima juta sebulannya. Dapat makan pagi dan siang hari. Juga tunjangan kesehatan. Kami hanya menarik kembali biaya pemberangkatan dan pengurusan surat-surat dengan cara potong gaji sebesar totalnya duapuluh lima juta. Dari sebulan yang lima juta itu, berarti lima bulan saja, duapuluh lima juta itu akan lunas. Gaji bulan-bulan berikutnya, seluruhnya untuk putra Bapak,” Parminto menambahkan, diangguki oleh Bondan yang duduk di sampingnya.
“Meski hanya pekerjaan yang sama, tetapi dikerjakan di tempat yang berbeda, gajinya bisa ratusan kali lebih besar. Bukankah itu sebuah peluang?” Bondan ikut menimpali.
“Tapi … aku tidak mau, Bapak,” tak diduga, putra Pak Daud menanggapi dengan cara berbeda.
“Ayo, Le. Kamu anak kami yang terakhir. Satu-satunya sisa harapan kami. Ini kesempatan, Anakku. Mungkin Tuhan memberi kita jalan ini buat membenahi keadaan keluarga kita. Kamu hanya bekerja dua atau tiga tahun di sana, selepas itu kembalilah pulang ke rumah. Tapi saat itu, di tanganmu sudah cukup modal untuk buka usaha apa yang kamu inginkan di sini,” terang Pak Daud sedikit gusar.
“Iyo, Le. Keluargamu sendiri bisa ke luar dari tali jiret kemiskinan. Bisa terbebas dari pekerjaan bab sampah. Karena kamu, Le. Karena kamu,” istri Pak Daud ikut menasehati.
“Aku masih bisa kerja bangunan ikut Paman minggu depan, Bapak,” berkata Noto, putra Pak Daud. Ia tidak bisa percaya, orang datang berhujan-hujan untuk tulus menolong orang lainnya.
“Dik, orang-orang di negara sana tidak ada yang mau bekerja di bagian mengurus sampah. Pemerintah kelabakan, penyakit dan ketentraman terancam oleh tumpukan-tumpukan sampah. Kota sangat membutuhkan orang-orang yang mengurusnya. Akhirnya pemerintah menawarkan gaji tinggi, melebihi gaji karyawan perusahaan umum. Tetapi, sekali lagi, tidak ada warga yang mau bekerja berkotor-kotor,” Bondan menggambarkan keadaan.
“Apa tidak ada orang yang membutuhkan uang di sana?” tanya Noto lagi, masih tak percaya.
“Mereka takut sakit. Mereka tidak tahan dengan bau, lembab yang kotor, cairan hitam yang kental, dekat dengan serangga-serangga seperti kecoak. Selain itu mereka melihat pekerjaan ini tidak menawarkan perkembangan karir. Begitulah pengurus sampah kota jadi profesi yang dijauhi orang-orang,” Bondan menjawab.
“Tetapi Bapak, Ibu dan Adik harus yakin, ada jaminan kesehatan di sana. Soalnya mereka tidak mau negaranya dipandang tidak melindungi pekerjanya,” berkata Parminto menambahkan.

***

Lima bulan sudah lewat. Bulan keenam berjalan. Keluarga Pak Daud menerima uang kiriman putranya di awal bulan. Tetapi mereka tidak mau menggunakannya buat merubah gaya hidup mereka. Pak Daud hanya membeli sebuah handphone, untuk bisa berbicara dengan sang putera.
Pekerjaan membersihkan sampah, tanpa perlindungan masker penutup hidung dan sarung tangan, menanggung kepastian datangnya penyakit. Begitulah Pak Daud bekerja pagi hari itu dengan menahan demam tubuhnya. Hari berikutnya ia menunda berkeliling untuk mengambil sampah ketika hari sudah siang. Matahari akan memanggang kulitnya. Membunuh demamnya. Begitulah satu minggu terakhir Pak Daud melakukan tugasnya siang hari. Tetapi kesehatannya tak kunjung membaik.
Dua hari yang lalu, ketika ia tak mampu bangkit dari tempat tidurnya, Pak Daud merintih. Pikirannya tak mau terima badannya demam. Sementara istrinya melakukan lebih banyak pekerjaan rumah, menggantikan apa yang dikerjakan Pak Daud selama ini, seperti mencuci pakaian dan mengepel lantai. Selesai dengan tugasnya, ia selalu berada di samping suaminya.
Salah satu yang paling memberatkan pikiran Pak Daud adalah soal pekerjaan menarik sampah warga kampung yang tidak dikerjakannya hari ini. Ia sedih dan marah pada tubuhnya. Ia bayangkan sampah yang tidak diangkutnya hari itu, berserakan di jalan-jalan karena kucing-kucing gila menggulingkan tempat sampah, mengais sisa ikan. Kalau sudah begitu, udara akan dipenuhi bau sampah. Bayi-bayi dan anak-anak kecil bisa kena penyakit. Pak Daud menangis memikirkannya. Ia harus bisa bangkit besok!
Malam berat mengambang di rumah Pak Daud. Diantara tidurnya, Pak Daud merintih-rintih, sebentar hilang sebentar datang. Ia menceracau tak jelas. Seperti erangan. Ada sakit yang tidak bisa mengumbar ke luar tubuh renta Pak Daud. Tertahan di dalam. Menggerogoti apa yang ada.
Istrinya mendekap tubuh tua suaminya yang sudah jadi kurus. Seperti harta yang paling berharga bagi dirinya, ia menjaganya, tak mau suaminya mengerang atau menceracau lagi. Ia tak peduli keringat deras yang ke luar dari pori kulit suaminya membasahi baju menembus kulitnya, membuatnya bau dan lengket.
Beberapa hari kemudian, dengan riuh kentongan dipukul, orang-orang mengantar Pak Daud menuju rumah terakhirnya. Rumah terakhirnya yang bebas dari sampah, lepas dari bau yang menusuk membuat nyeri, merdeka dari serangga-serangga hitam kotor.
Setiap orang yang menyaksikan wajah Pak Daud sebelum ditutup keranda, akan sama-sama yakin bahwa itu bukan wajah yang nestapa. Kemalangan yang bagaimana pun tidak bisa memaksa Pak Daud meninggalkan dunia dengan kemarahan. Malaikat melukis senyuman di sana. Karena sebelum wafat, ia sudah diyakinkan bahwa ada pengganti yang meneruskan kerjanya, menarik sampah. Bahwa pagi tadi, sampah di kampung sudah dibersihkan, sudah diangkut ke tempat pembuangannya.
Hari ini, orang-orang merasa lega, karena hampir seminggu sampah menumpuk tidak terurus dan membuat kampung bagai kandang hewan, sudah dibersihkan sejak pagi sekali. Si anak muda yang pernah berikhtiar dapat menjauhkan keluarganya dari sampah dan kemiskinan, ia yang pernah pergi ke seberang benua, kesulitan berbicara dengan bahasa asing, anak muda yang menerima upah kerja dengan tangan gemetar, anak muda ini menarik gerobak penuh sampah untuk kali kelima pagi ini. Karena enam hari sampah belum diambil.
Dengan otot tangan dan kaki mengembang, Noto, penerus sang ayah menarik gerobak sampah, merasakan lagi berdentam-dentam di kepalanya sebuah pertanyaan, yang belum bisa ia jawab: ”Siapa yang membuat nilai bahwa sebuah pekerjaan lebih mulia ketimbang pekerjaan yang lain? Siapa yang membuat penilaian bahwa pekerjaan yang satu layak digaji lebih rendah dari yang lain?”**

rumsas, 2008-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar